Saia Dan Rasa Syukur Menjadi Sederhana
Setiap bentuk kejadian dalam hidup, saia yakini, selalu menghadirkan makna. Perjalanan hidup sebagai Accounting, kerap membuat saya harus bergaul intensif dengan sejumlah orang kaya dan berada. Berbagai macam pengalaman telah saya lalui bersama mereka. Ada yang menyenangkan seperti bermain golf, jet ski, menginap di hotel berbintang sampai dibelikan barang-barang mewah. Ada juga yang menyengsarakan, seperti dimarahi istri Pimpinan salah satu Perusahaan tanpa tahu sebab musababnya, digoda ikut masuk ke dalam kehidupan-kehidupan menyimpang, dan masih ada lagi yang lain.
Syukurnya, sampai sekarang saya masih bisa menjaga jarak secara seimbang terhadap semua ini. Namun, ada satu hal yang menggoda saia untuk diulas di sini. Orang yang kaya materi, tidak sedikit yang menyesali hidupnya. Jarang berkata syukur ke Tuhan. Sejumlah kekayaan yang diwariskan orang tua mereka, kerap malah membuat kehidupan penuh perkelahian, kebencian dan perselisihan.
Tidak sedikit keluarga pewaris saham perusahaan besar, yang selama hidupnya berkelahi tiada hentinya. Ditandai oleh banyaknya segi tiga kebencian. Kecurigaan terhadap setiap anggota keluarga. Digabung menjadi satu, kekayaan yang dikumpulkan secara susah payah oleh generasi pendahulu, tidak membuat hidup lebih mudah, malah sebaliknya membuat semuanya jadi sengsara.
Memang, ada banyak sebab yang bersembunyi di balik fenomena ini. Namun, satu hal pasti, ketidakmampuan untuk hidup dan berfikir sederhana, telah membawa mereka pada lautan kehidupan yang penuh dengan tekanan.
Saia mensyukuri sekali kehidupan yang bergerak perlahan dari tataran yang sangat bawah. Ketika masih mengontrak dari satu rumah kecil ke rumah kecil yang lain, rasanya bahagia sekali kalau bisa memiliki rumah BTN. Ketika masih bergelantungan di bus kota, rasanya nikmat sekali jika bisa punya mobil. Tatkala hidup dengan makan sangat pas-pasan, selalu terbayang enaknya makan dengan daging yang memadai.
Sekarang, ketika semua itu sudah berlalu, tidak hanya rasa syukur yang teramat sering saia ucapkan ke Tuhan, tetapi kepala otomatis merunduk ketika menemui orang-orang dengan tingkatan kehidupan di bawah. Ada godaan untuk selalu menolong, bila ada kemampuan untuk melakukannya. Dan yang paling penting, pengalaman meniti tangga kehidupan dari bawah, membuat saya sering ingat akan pentingnya kesederhanaan hidup.
Dengan kata lain, memiliki kekayaan yang terlalu banyak sering mengurangi rasa syukur. Sebab, penghargaan terhadap rezeki sering menurun sejalan dengan semakin banyaknya uang yang dimiliki.
Nah, kesederhanaan berfikir dan kesederhanaan hidup itu penting dalam konteks ini, karena ia yang bisa menjadi jembatan yang memadai antara rezeki dan keinginan. Rezeki, sebagaimana kita tahu mengenal batas-batas. Sedangkan keinginan di pihak lain seperti langit, tidak ada batasnya.
Kesederhanaan bisa menjadi jembatan dalam hal ini, karena bisa menjadi ‘manajer’ bagi sang diri. Ia yang memilih mana yang betul-betul perlu, dan mana yang hanya pelengkap saja. Ia yang memisahkan keinginan yang diwarnai egoisme, dengan keinginan yang perlu dipenuhi.
Kembali ke cerita awal tentang orang kaya materi yang hidupnya penuh percekcokan, mereka memang punya uang, tetapi pengalaman hidup yang langsung di atas, membuat kesederhanaan bisa menjadi barang mewah buat mereka.
Dibandingkan dengan saya yang pernah memakan tempe bacem berbulan-bulan, dan sekarang mudah sekali merasakan enaknya makan, makan Mc. Donald, Kentucky, atau malah restaurant mewah sekalipun bagi orang kaya tadi tidak pernah menimbulkan selera.
Bagi saia yang pernah mengontrak sejumlah rumah kecil kumuh dan sederhana, tinggal di rumah dengan tanah ratusan meter sudah sangat memuaskan. Tetapi bagi mereka, ini hanyalah sesuatu yang tidak perlu dihargai dan disyukuri.
Untuk ukuran manusia yang bertahun-tahun bergelantungan di bus kota, naik sedan menghadirkan kebahagiaan tersendiri. Tetapi bagi anak orang kaya di atas, ia hanyalah keseharian yang biasa dan hambar.
Dengan latar belakang pendidikan SD di desa, dan seorang anak petani dari pinggiran Jawa Timur, bisa menyebrangi pulau dan berumah tangga dengan penuh kesederhanaan adalah sangat membanggakan, tapi bagi mereka yg kaya tentunya hal ini tak layak untuk di syukuri
Seluruh cerita dan ilustrasi ini memperkuat argumen sahabat saia, bahwa Keserekahan dan materi menghalangi ketulusan untuk bersyukur pada Tuhan.
Sebaliknya dengan kesederhanaan, rasa syukur, terimakasih, penerimaan bagi sang hidup, mudah sekali muncul. Saia tidak tahu, bagaimana pengalaman Anda. Namun, saia amat bersyukur pada Tuhan yang pernah membawa saia pada kelokan-kelokan kehidupan yang membuat saia sampai pada kesimpulan: “kesederhanaanlah awal dari kebahagiaan“.
Saia mengisi prinsip ini dengan berjalan-jalan mengelilingi rumah setiap sore sambil mengucapkan terimakasih. Menggendong dan menciumi anak-anak bila ada kesempatan. Menyapa setiap yang lewat dengan penuh senyuman dan canda tawa. Anda, saia kira, bisa melakukannya dengan cara Anda sendiri........dari pinggiran pemikiran yang menyentuh aidit faisol with love
Category:
