Saia Dan Jejak Makna Adventure
Setiap perjalanan ( termasuk perjalanan hidup) sering di ganggu oleh pertanyaan nakal sekaligus usil,”Dimana dan bagaimana akhirnya?” disebut nakal dan usil karena pertanyaan ini juga yang membuat manusia buru buru, tidak sabar, mudah memberi judul gagal. Untuk kemudian, membiarkan hampir setiap pengalaman keseharian kehilangan keindahannya. Berkendaraan dari Denpasar ke Jawa timur lewat Tabanan yang penuh teras siring sawah sampai menyeberang selat Bali dan sampai hutan Baluran, karena tidak sabar dan buru buru maka keindahan pemandangan berupa hamparan hijaunya padi beserta tatanan teras siringya, indahnya mentari pagi selat Bali hilang begitu saja tanpa sempat dinikmati.
Hal serupa juga terjadi dengan kehidupan, setiap langkah yang buru buru dan tidak sabar, mau segera sampai di tujuan, membuat terlalu banyak keindahan yang hilang, Seperti memakan sebuah pisang. Ketika buru buru tidak saja hadir kemungkinan lidah tergigit, tetapi juga banyak keindahan yang hilang. Memakan pisang (demikian juga hidup) tujuannya bukanlah menghabiskan pisangnya secepat dan sesingkat mungkin. Melainkan menikmati setiap gigitan dan kunyahan. Setiap gerakan mulut sebenarnya menghadirkan keindahan.
Dalam hidup juga tersedia terlalu banyak sahabat yang terburu buru. Ketika lulus sekolah, buru buru mau bekerja. Setelah bekerja, buru buru mau jadi direktur. Setelah jadi direktur buru buru mau jadi presiden direktur, baru terasa kalau banyak sekali yang hilang. Tawa canda sahabat ketika masih di bawah dulu. Ketulusan dan kejujuran orang lain ketika masih jadi orang biasa. Teman teman sekeliling yang datang hanya untuk berteman, tanpa motif yang kotor kotor. Pelukan kekasih yang dulu sering hadir karena waktu bersama yang melimpah. Dan setelah menoleh seperti ini, baru sadar kalau dalam langkah langkah hidup yang buru buru, banyak sekali yang hilang dibelakang. Dan diganti oleh kekinian dan masa depan yang kering, gersang dan penuh ketakutan.
Disinari oleh kesadaran seperti inilah, mulai banyak pejalan kaki didunia kejernihan berhenti buru buru. Bukannya berhenti berusaha, sekali lagi bukan. Melainkan berhenti buru buru dan berhenti diganggu oleh pertanyaan usil dan nakal,”Dimana dan bagaimana akhirnya?” Kemudian bersahabat serta berpelukan mesra dengan kekinian yang suci. Berjalan tetap berjalan, melangkah ke tujuan juga masih, cuman tidak ada keindahan dalam kekinian yang dibiarkan berlalu tanpa rasa syukur.
Seperti anda yang sedang membaca tulisan pendek saia ini. Kesimpulan akhirnya memang belum ketahuan. Rangkaian makna yang bisa mengendap ke dalam juga belum tahu. Apa lagi derajat perubahan yang ditimbulkan karena membaca tulisan ini, masih jauh. Cuman ada suara tarikan nafas masuk dan hembusan nafas keluar yang berbunyi dan bertutur tentang sesuatu.” Ada kekayaan badan sehat yang perlu disyukuri. Ada kursi empuk yang menyangga dengan setianya. Dan masih banyak lagi yang lain.”
Bagi sahabat sahabat yang sudah belajar berpelukan mesra dengan masa kini yang suci, kemudian ada kekuatan yang mendidik untuk memasuki wilayah ketulusan. Berbeda dengan pikiran yang serakah memilih sukses diatas gagal, benar diatas salah, baik diatas buruk,..Keiklasan ia tidak saja tidak memilih, bahasanya hanya satu : semuanya sudah, sedang dan akan berjalan sempurna!! Salah seorang sahabat jernih saia bertutur: Ikhlas bisa berarti berhenti berusaha untuk mengerti. Bahkan ketika tidak tahu pun masih merasa aman dan nyaman.
Terus terang, kesimpulan ini agak menghentak. Terttama pada zaman di mana manusia baru merasa nyaman dan aman ketika tahu, tiba tiba ada yang mengatakan belajar aman dan nyaman ketika tidak tahu. Dan ternyata ada benarnya. Tidak semua segi hidup bisa diketahui. Tiga pertanyaan penting kehidupan (dari mana saia datang sebelum lahir?, kenapa ada disini?, kemana pergi setelah mati?) menyimpan bagian bagian gelap yang tidak bisa diketahui. Ilmu pengetahuan sudah berjalan demikian jauh, teknologi sudah berjalan demikian keras, tetapi toh jawaban terhadap ketiga pertanyaan tadi belum bisa disepakati sepenuhnya.
Indahnya, begitu manusia terbiasa aman dan nyaman dalam ketidak tahuan, pintu pintu keindahan seperti terbuka di sana sini. Jangankan ketika makan enak, menarik dan menghembuskan nafas pun ada yang indah. Jangankan ketika berlimpah rezeki, tanpa ada limpahan rezeki pun masih ada yang bersyukur di dalam sini. Jangankan ketika sehat, Tatkala sakit, tangan patah dan lain sebagainya pun masih bisa melihat jejak makna. Jangankan ketika naik pangkat, tatkala pensiunpun tersisa berlimpah keindahan.
Dalam lapisan lapisan keindahan yang lebih dalam, Hazrat inayat khan pernah mengemukakan,”Bukankah keindahan adalah bahasa Tuhan? Ketika topeng keindahan dibuka, bukankan yang tersisa hanya kesucian? Tatkala semuanya hanya keindahan, bukankah ada yang terlahir kembali?
Category:
