Saia Dan Habit

sombreroid | 23.42 |

Terlalu biasa menyaksikan air jatuh dari langit seperti malam usai Maghrib begini membuat saia  tak pernah takjub akan keheningan yang diciptakan dan kekhusyukan yang ditularkan hujan pada altar rumah ini. Saia merasakannya biasa saja, gak ada yang penting dan bermakna, sebagaimana kita semua menganggab semua yang rutin sebagai biasa tanpa makna dan tenaga. Andai hujan turun sedemikian hebatnya diiringi amukan angin, barulah saia, akan menolehkan kepala untuk menatapnya dengan penuh cemas dan ngeri. Takut banjir, badai, pohon tumbang, dan sebagainya. Atau, andai saja hujan tiba tiba berubah warna menjadi merah, pastilah semua orang akan tertoleh untuk menatapnya.

Kebiasaan ( Habit ), itulah kondisi yang selalu menghantar kita untuk merasa biasa dan nyaman dengan kebiasaan itu. Kondisi  yang terasa menghadirkan makna semestinya tentang sesuatu, seseorang, atau pandangan apapun, mulai  dari urusan social, sahabat, keluarga, hingga agama.

Jika ada orang yang tidak pernah mau datang untuk ronda, tentulah ia akan diklaim sebagai  orang anti social di lingkungannya. Sebab habit yang terkondisikan di lingkungan tersebut adalah menjalankan ronda secara bergiliran dengan jadwal yang terencana. Umpama ada orang yang suka menggunjingkan sahabatnya sendiri dalam segala keburukannya, niscaya ia akan divonis orang yang tidak punya sifat setiakawan. Sebab habit persahabatan telah terkondisikan untuk selalu melindungi sahabatnya. Demikian pula dalam wilayah agama, umpama ada orang yang shalat Tahajjud dijalankan pukul delapan malam, pastilah semua akan mengatakan bahwa ia orang muslim yang nyleneh, aneh, bahkan sesat! ( hem, padahal sebenarnya yang namanya shalat lail/malam tidaklah terpaku pada jam tertentu ). Itulah kekuatan habit, kebiasaan, rutinitas, yang merasuki jiwa setiap anak manusia, bahkan dalam banyak kalangan diposisikan sebagai kebenaran sejati.

Bila nilai sebuah kebenaran sudah diletakkan dalam kerangka kebiasaan, habit, maka ironi yang kerap muncul ialah terjadinya keterbalikan hierarki antara sumber kebenaran dan pemahaman ( tafsir ) atas sumber kebenaran itu. Lihatlah, bagaimana kebiasaan menegakkan shalat tahajjud tengah malam (selepas pukul 12 malam ), kemudian dijadikan pemahaman untuk menganggap benar pelakunya yang demikian dan menyalahkan orang lain yang punya pemahaman berbeda bahwa shalat tahajjud bisa ditegakkan dalam rentang malam kapan saja. Sumbernya sama (wa minal laili fatahajjad bihi naafilatal laka…), namun out putnya kemudian berbeda lantaran factor kebiasaan, praktiknya berbeda, dan ironisnya men cut kan klaim satu benar dan lainnya salah.

Klaim kebenaran atas dasar kebiasaan ini begitu kuat mendarah daging dalam jelantrah kehidupan kita sehari hari. Sekalipun memang juga harus dinyatakan bahwa banyak tatanan social dan agama yang diciptakan oleh factor kebiasaan, namun tentu saja letupan letupan ironi yang mengalahkan sumber pemahaman lantaran habit yang berbeda itu sangat patut di perhatinkan, lebih lebih bila sudah meludah ke wilayah harmoni kehidupan.

Sungguh, kebiasaan seseorang atau kelompok tertentu bukanlah kebenaran mutlak yang perlu disodok sodok sodokkan pada kebiasaan seseorang atau kelompok lainnya.  Sungguh lantaran kita semua berada dalam posisi berusaha memahami sumber sumber kebenaran dalam kerangka pemahaman dan kebiasaan yang sangat personal atau local, maka sepatutnya kita tidak memaksa maksa diri lain atau kelompok lain untuk sami’na waatha’na atas kebiasaan diri kita sendiri.

Andaikata dalam sebuah lingkungan, kebiasaan yang dominan ialah shalat tarawih empat salam, maka apakah patut lingkungan lain yang berbeda praktik tarawihnya diklaim sebagai kelompok muslim yang tidak baik, salah, apalagi sesat?!

Lihat betapa sangat beragamnya kebiasaan hidup kita. Lihatlah orang orang yang suka kongkow di kafe benar benar tampak sumringah dengan kebiasaannya. Saksikanlah mereka yang terbiasa bekerja malam hari tetap bahagia dengan kehidupannya. Perhatikanlah bagaimana orang orang yang intim dengan jamaah Mujahadah atau Shalawatnya, begitu nyaman dan indah dalam kebiasaannya yang khusyuk itu

Yakinkan dalam jiwa setiap kita, bahwa selalu ada kebiasaan yang tidak biasa bagi kita sendiri, namun begitu nyaman dan menyenangkan bagi kehidupan orang lain yang hidup di dalamnya, sebagaimana kita nyaman dan bahagia dengan kebiasaan kita yang intim dengan kebiasaan kita yang berbeda jauh dengan kebiasaan mereka, maka lantas apakah patut bagi kita untuk menyodok nyodok orang lain untuk mengikuti kebiasan kita sebagai aksi hidupnya?

Tidak sama sekali, sama tidaknya dengan tidak akan nyamannya diri kita bila disodok sodok untuk mencampakkan kebiasaan hidup kita dan mengenakan kebiasaan orang lain yang sangat asing dan aneh bagi jiwa kita.

Maka tidaklah penting bagi saia untuk memvonis kualitas individu seseorang, apalagi spiritualnya , atas dasar habit yang berbeda dengan diri kita. Jangan sekali kali berani untuk mengklaim bahwa si Anu yang suka pulang tengah malam adalah orang tidak baik, tidak dekat dengan Tuhan, karenanya adalah orang sesat dan menjijikkan. Mohon jangan lakukan itu, sebab sungguh kita tak perlu tahu sipa dia dan semuanya, hanya atas dasar kebiasaan hidupnya yang mungkin adalah habit terbaik baginya.

Saia jadi teringat bisikan seorang guru bijak bahwa siapapun yang menyangka dirinya sebagai pemangku kebenaran, maka berhati hatilah padanya, sebab pada waktu yang sama mereka yang mengaku sebagai pemangku kebenaran telah lalai untuk menempatkan diri sebagai selalu pencari kebenaran.

Saia pun jadi teringat kisah seorang kawan bahwa sekalipun kopinya sama, namun cara menyeduh, menyajikan, dan menikmatinya akan berbeda beda layaknya sebuah kebiasaan yang menjadikan peminumnya begitu nyaman akan kopi itu.

Habit, habit, dan habit: itulah letak perbedaan antara saia dan banyak orang, kendati kita semua selalu berada dalam ranah meraba dimanakah gerangan muara kebenaran itu berada, lantaran habit itulah yang akan menjadikan setiap kita merasa nyaman dengan diri dan kehidupan kita.

Bukankah sejatinya tidak pernah ada seorangpun yang tahu apa gerangan maksud Tuhan dalam sebuah firman-Nya? Bukankah sesungguhnya nggak pernah ada seorang cerdik pandaipun yang tahu pasti apa gerangan yang akan diraih jika kita melakukan sesuatu atas pemahaman dan kebiasaannya?

Maka jangan pernah mengajari anak bebek untuk berenang, sebab tanpa kau ajaripun, dia sudah tahu bagaimana caranya berenang…..” sebagaimana, “ jangan pernah kau ajari bagaimana bayi mengemut susu ibunya, sebab tanpa kau ajari pun, dia sudah tahu pasti apa yang harus dilakukannya…”

Yap! The last, the end : biarkan pelangi itu indah lantaran keberagaman warnanya, kebhinekaan kebiasaannya….

Category:

About GalleryBloggerTemplates.com:
GalleryBloggerTemplates.com is Free Blogger Templates Gallery. We provide Blogger templates for free. You can find about tutorials, blogger hacks, SEO optimization, tips and tricks here!